Candi Borobudur
Borobudur
Candi Borobudur sangat ajaib ,menggambarkan Manusia di Zaman dahulu mampu menciptakan monumen serumit, sespektaluker, sekaligus seindah Borobudur. batu ditumpuk satu per satu hingga membentuk sebuah bangunan tinggi nan indah. Setiap bagiannya memilki makna, itulah sebabnya Candi ini tergolong keajaiban dunia.Pada Candi Borobudur, terdapat patung-patung Buddha dengan 6 macam image atau mudra yang berbeda.
1. Bhumisparcamudra atau “memanggil bumi untuk menyaksikan”. Posisi Buddha dimana tangan kanan menyentuh bumi, diletakkan di atas lutut kanan, dengan jari-jari menunjuk ke bawah. Mudra ini melambangkan permintaan Buddha kepada Dewa Bumi untuk menyaksikan prilakunya yang benar ketika menyangkal tuduhan Mara. Mudra ini ciri khas bagi Dhyani Buddha Aksobhya.
2. Abhayamudra. Posisi Buddha dimana tangan kanan diletakkan di atas paha kanan, dengan telapak tangan menghadap ke atas, sebuah posisi yang melambangkan upaya penghalauan terhadap rasa takut. Mudra ini merupakan Dhyani Buddha Amoghasiddi, Buddha Utara.
3. Dhyanamudra atau “meditasi”. Kedua tangan terbuka dan diletakkan di pangkuan, dimana tangan kanan berada di atas tangan kiri, dan kedua ibu jari saling menyentuh satu sama lain. Mudra ini dianggap berasal dari Amitabha, Dhyani Buddha Barat.
4. Varamudra atau “amal”. Tangan kanan diputar ke atas dan jari-jari ke bawah dan diletakkan di lutut kanan. Dhyani Buddha tersebut adalah Ratnasambhava, Buddha Selatan.
5. Virtakamudra atau posisi menimbang keputusan secara matang, digambarkan dengan posisi mengangkat tangan kanan di atas lutut kanan, dengan telapak tangan menghadap ke atas, dan ujung jari telunjuk menyentuh ibu jari. Dhyani Buddha yang dimaksud di sini adalah Budha dari semua arah.
6. Dharmacakramudra, atau “perputaran roda Hukum”, yang melambangkan kotbah pertama Sakyamuni di Taman Kijang di Benares. Kedua tangan ditahan di dada, tangan kiri di bawah tangan kanan, dan diputar ke atas dengan jari manis menyentuh ibu jari, sedangkan jari manis tangan kanan menyentuh jari kelingking kiri. Posisi tangan yang demikian memberi kesan perputaran roda, dan dihubungkan dengan Vairocana, Dhyani Buddha Puncak.
Relief pada Candi Borobudur, yang unik dan indah adalah relief yang terukir di permukaan dinding-dindingnya, dan di sepanjang lorong atau jalan kecil .
Pada tahap pertama pembangunan Borobudur, terdapat serangkaian relief pada kaki bangunan. Ilustrasi teksnya diambil dari Karmavibhangga (Hukum Sebab Akibat). Teks itu mencerminkan niat baik dan imbalannya, tapi lebih menitikberatkan pada hukuman berat bagi mereka yang berniat jahat seperti membunuh hewan, berkelahi atau penjagalan.
Dinding dari galeri pertama didekorasi oleh 4 rangkaian relief: dua pada tembok serambi, dan dua pada tembok utama. Kedua rangkaian relief yang terdapat di dinding serambi diambil dari teks Jatakas, atau Kisah Kelahiran. Dongeng-dongeng ini menceritakan kehidupan Sakyamuni (Buddha Gautama) dalam berbagai inkarnasi sebelum kelahiran akhirnya sebagai manusia. Tema dari kisah-kisah ini adalah pengorbanan diri sebagai sarana memperoleh kebaikan dan kelahiran yang lebih baik pada kehidupan berikutnya, dengan mencapai nirwana sebagai tujuan akhir.
Tingkat dinding utama yang lebih rendah dihias dengan kisah kelahiran yang lain, yang menceritakan kehidupan orang-orang lain selain Sakyamuni yang juga memperoleh pencerahan. Berbeda dengan ajaran Buddha Theravada, dimana didalamnya diyakini bahwa hanya satu orang yang dapat memperoleh pencerahan pada zaman ini, para pengikut Buddha Mahayana yakin banyak makhluk yang telah mencapai tahap ini. Teks ini disebut Avadanas.
Pada tingkat dinding utama yang lebih tinggi, galeri pertamanya mempertunjukkan relief-relief yang menceritakan kehidupan Sakyamuni (Siddharta Gautama) sepanjang kehidupannya sebagai pangeran yang menjadi guru bertapa. Relief-relief ini dimulai dengan Buddha ketika berada di surga sebelum reinkarnasi terakhirnya, dan berakhir dengan upacara pertamanya di Taman Kijang di Benares. Teks ini dinamakan Lalitavista.
Rangkaian kelima dan terakhir menempati 3 galeri Borobudur sebelah atas. Teks digunakan sebagai sumber inspirasi yang disebut Gandavyuha. Ukiran ini mengandung cerita seorang pemuda, anak pedagang, bernama Sudhana, yang berguru dari satu guru ke guru lain dalam upaya mencari pencerahan. Sebagian besar relief memperlihatkan adegan pemuda itu bepergian dengan berbagai transportasi termasuk kereta kuda dan gajah, serta adegan ketika dia berlutut di hadapan para gurunya (kalayanamitra, atau “teman baik”), baik laki-laki, perempuan, anak-anak dan Bodhisattvas. Penjelajahan Sudhana berakhir di Istana Maitreya, Buddha di masa depan, di puncak gunung Sumeru, dimana dia diberi pelajaran dan memiliki berbagai pandangan.
Rangkaian terakhir relief yang terdapat di teras bagian atas diambil dari lanjutan teks ini, yang disebut Bhadracari, dimana Sudhana bersumpah untuk menjadi Bodhisattva, dan mengikuti contoh Bodhisattva tertentu bernama Samantabhadra.
Bhadracari; “Dan kemudian selanjutnya, Raja Buddha akan datang, yang akan menerima pencerahan di masa depan, seperti Raja Maitreya yang mulia dan seterusnya, dan akhirnya Samantabhadra, Sang Buddha Masa Depan”
Penempatan rangkaian relief pada tingkat paling tinggi dari candi menunjukkan bahwa ini merupakan teks yang paling dihormati oleh pendiri Borobudur. Adegan-adegan relief kelihatannya didesain untuk mendorong para pejiarah agar mengikuti contoh Sudhana ketika memanjat gunung, yang melambangkan tujuan dan sumber kebijaksanaan tertinggi
Dalam sejarah perkembangannya di Indonesia, Buddha merupakan agama yang populer di Jawa Tengah, yaitu antara tahun 750 – 850 Masehi. Waktu yang cukup singkat memang. Tetapi walupun demikian, Buddha telah meninggalkan monumen-monumen besarnya di Indonesia, salah satunya adalah Candi Borobudur, yang merupakan monumen Buddha paling besar dan spektakuler di dunia.
Candi Borobudur terletak di tengah-tengah Pulau Jawa, 41 km sebelah baratlaut Yogyakarta, dan 7 km sebelah selatan Magelang. Dataran Kedu yang mengelilinginya sering disebut sebagai “Taman Jawa” (The Garden of Java), karena dataran ini memang sangat subur, dan penduduknya pun sangat tekun. Dataran ini dikelilingi oleh 4 buah gunung, yaitu Gunung Sumbing (3.371 m) dan Sindoro (3.135 m) di sebelah baratlaut, serta Merbabu (3.142 m) dan Merapi (2.911 m) di sebelah timurlaut.
Candi Borobudur dibangun oleh Samaratungga dari Dinasti Syailendra selama kurang lebih 50 tahun, yaitu pada tahun 778 – 856 M, 300 tahun sebelum Angkor Wat (Kamboja), dan 200 tahun sebelum Notre Dame.
Secara keseluruhan, tinggi Borobudur mencapai 42 m, tetapi kemudian setelah dipugar, tingginya berkurang hingga hanya 34,5 m, dan mempunyai dimensi 123 x 123 m. Borobudur mempunyai 10 lantai atau tingkat. Lantai pertama sampai keenam berbentuk segi empat, dan lantai ketujuh sampai kesepuluh berbentuk lingkaran.
Candi ini menghadap ke timur, dan terdiri dari 1.460 panel, yang masing-masing memiliki lebar 2 m. Luas seluruh dindingnya mencapai 2.500 m2, dan dipenuhi oleh relief. Jumlah panel yang memiliki relief ada 1.212. Menurut penelitian, jumlah patung Buddha sekitar 504, termasuk patung-patung yang masih utuh dan yang telah hancur. Pemugaran Borobudur sudah dilakukan sebanyak dua kali, yaitu dari tahun 1905 – 1910, dan yang terakhir pada tahun 1973 – 1983.
Borobudur dibangun selama kurang lebih 50 tahun lamanya, melalui beberapa tahapan. Selama ini pula desain Borobudur mengalami beberapa kali perubahan.
Tahap pertama
Tahap pertama kemungkinan dimulai sekitar tahun 780 M. Pada tahap ini, bangunan kecil dengan tiga buah teras bertumpuk didirikan pada saat bangunan lainnya mulai dibangun dan kemudian dihancurkan. Bangunan ini kemungkinan awalnya dirancang sebagai sebuah piramid bertingkat.
Tahap kedua
Pada tahap ini, pondasi Borobudur diperlebar, menutupi kaki asli. Selain itu, jumlah teras juga diperbanyak, termasuk dua buah teras persegi empat dan satu buah teras bundar.
Tahap Ketiga
Perubahan yang lebih teliti dilakukan, dimana puncak teras bundar dipindahkan dan diganti dengan serangkaian tiga buah teras bundar yang baru. Stupa juga dibangun di puncak teras-teras ini.
Tahap keempat dan kelima
Ada sedikit perubahan pada monumen, termasuk penambahan relief-relief baru dan perubahan pada tangga dan patung di sepanjang jalan. Simbol pada monumen tetap sama, dan perubahan sebagian besar hanya pada dekorasinya.
Catatan Pembangunan Candi Borobudur
kaki tambahan dan menutupi kaki aslinya. Kaki tambahan seperti yang terlihat sekarang, bentuknya sangat sederhana dan sering disebut teras lebar. Teras lebar ini menutupi relief di kaki asli, yang terdiri dari 160 pigura. Di beberapa pigura terdapat tulisan singkat sebagai petunjuk ringkas bagi pemahatnya dalam huruf Jawa Kuna. Ternyata kata-kata yang dipergunakan itu juga terdapat dalam kitab Mahakarmavibhangga yang memuat cerita tentang cara kerja hukum karma dalam kehidupan. Relief di kaki asli menggambarkan kehidupan sehari-hari yang terkadang berkesan sadis, seronok, dan sebagainya. [Referensi :kamusilmiah.com]
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Dalam etnis Tionghoa, candi ini disebut juga Hanyu Pinyin dalam bahasa Mandarin.
Nama Borobudur
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya “gunung” (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan “para Buddha” yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah “tinggi”, atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti “di atas”. Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja mataram dinasti Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. [1] Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa sansekerta yang berarti “Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa”, adalah nama asli Borobudur.[2]
Struktur Borobudur
Borobudur dilihat dari pelataran sudut barat laut
Denah Borobudur membentuk Mandala, lambang alam semesta dalam kosmologi Buddha.Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.
Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah”. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.
Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.
Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga unfinished Buddha, yang disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.
Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand, Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur Mandala.
Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.
Relief
Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.